Catatan Pertunjukan Saling-silang#2 oleh Wahyu Ramadhan
Mendekati penghujung tahun 2022, Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta menggelar sebuah pertunjukan musik etnis bertajuk Saling-silang #2. Konten dan konteks pertunjukan ini adalah persilangan budaya musikal dalam bentuk aransemen lagu-lagu etnis atau daerah di nusantara. Saling-silang #2 diselenggarakan selama dua hari tanggal 12-13 Desember 2022 di mini concert Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. Pertunjukan ini mampu memanjakan mata dan telinga penonton. Bayangkan saja, lagu-lagu daerah A disajikan dengan gaya musikal dari daerah B, dengan perbedaan instrument musik, tangga nada, dinamika, pola permainan, dan sebagainya. Mungkin bagi sebagian penonton yang hadir atau masyarakat awam yang mendengarkan, bisa saja tidak mengetahui lagu asli yang telah di bawakan penyaji itu telah di ubah atau tidak sesuai dengan lagu aslinya. Misalnya saja lagu Bangbung Hideung dari Jawa Barat, diaransemen oleh Wahyu Ramadhan dan Nurul Azmi. Lagu Bangbung Hideung yang kental dengan nuansa pentatonis dengan cengkok khas Sunda diubah ke dalam gaya musikal Panting khas etnis Banjar Kalimantan Selatan.
Di balik repertoar-repertoar musik yang disajikan, ada satu fenomena menarik yang bisa kita saksikan, yaitu hadirnya seorang pengendang perempuan. Pengendang tersebut bernama Amina Raiska, mahasiswi Jurusan Etnomusikologi ISI Jogja angkatan 2020. Teman-teman memanggilnya dengan panggilan akrab yaitu Icha. Gadis asal Jakarta tersebut belajar dan menekuni kendang sejak duduk di bangku Sekolah Menengah. Pada malam itu, dengan luwesnya Icha menabuh kendangnya, sehingga membuat penonton berdecak kagum. Berdasarkan penuturan salah satu penonton (tidak mau disebut namanya), mengatakan “keren banget kak icha, aku pikir bakal beda sama pengkendang cowok, tapi ternyata sama aja, bahkan jadi nilai plus untuk kak Icha di mata cowok-cowok”
Terlihat gagah serta anggun itulah kesan awal yang saya dapatkan. Seorang perempuan dengan busana melayu sedang menabuh kendang sunda pada sebuah pertunjukan yang diselenggarakan di jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. Apakah tak salah lihat?, Kendang Sunda yang identik dimainkan oleh pria yang membutuhkan kekuatan otot-otot tangan besar, kini dimainkan oleh seorang perempuan. Bagi saya, fenomena itu terlihat asing, dan mungkin bagi Sebagian besar penonton yang mayoritas anak-anak muda yang hadir dalam acara tersebut.
Dalam hal ini, saya sebagai mahasiswa seni yang tengah belajar melihat fenomena-fenomena budaya musik tradisi di Indonesia bertanya-tanya apakah benar dibolehkan untuk seorang perempuan memainkan kendang?, memangnya power pukulan tangannya bisa sekuat tangan laki-laki?, Hal ini akhirnya menggiring opini saya ke isu kesetaraan gender khususnya dalam budaya musik tradisi. Kesetaraan gender secara umum dipahami antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam menikmati setiap hak hidupnya, yang membedakan antara dua makhluk ciptaan tuhan ini adalah laki-laki tidak bisa menyusui dan juga melahirkan. Dalam fenomena ini instrumen Kendang Sunda dalam budaya musik tradisi di Jawa Barat, pada umunya dimainkan oleh seorang laki-laki. Mungkin, jika dimainkan oleh perempuan ada Batasan-batasan norma sosial/agama yang dilanggar, atau memang kendang sunda membutuhkan tenaga otot-otot tangan yang besar yang kecenderungan dimiliki oleh laki-laki. Pada malam itu, Icha tampil memainkan kendang Sunda dengan powerful. Stigma tentang “kekuatan” laki-laki terpatahkan melalui fenomena Icha si pengendang perempuan. Penonton bersorak riuh ketika Icha memainkan solo kendang sunda pada Garapan aransemen lagu Dodoi Si Dodoi dengan nuansa Jawa-Betawi yang digarap bersama Anggy Caesarano.
Melihat respon penonton yang bersorak sorai dalam menyaksikan penampilan Icha, menegaskan bahwa Icha seolah-olah menjadi salah satu bintang dalam pertunjukan malam itu. Hal ini juga mempertegas bahwa setiap manusia memiliki hak dalam mengeskpresikan hidupnya. Dalam konteks ini, seni mampu menjadi media kampanye isu kesataraan gender yang efektif. siapapun bisa saja memainkan kendang, selagi dia mampu kenapa tidak. Dilain sisi, mampu menjadi nilai jual/self branding untuk diri sendiri. Tentunya, Icha pasti merasa bangga atas keterampilan yang dimiliki karena kemampuannya bisa disejajarkan seperti pengendang laki-laki. Layaknya bulan di malam hari yang bersinar lebih terang di antara bintang-bintang.
Penulis: Wahyu Ramadhan, Mahasiswa Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta Angkatan 2020
Editor: Ribeth Nurvijayanto