Manifestasi simbolik dalam kesenian Glipang Rodhat
Oleh: Denny Bhagus Syahroni
Sekilas Sejarah Glipang Rodhat
Lumajang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur eks Karesidenan Besuki yang sering juga disebut wilayah Pandhalungan, yaitu wilayah berkembangnya akulturasi kebudayaan antara dua budaya dominan di kawasan tapal kuda, yakni budaya Jawa Timuran dan budaya Madura (Sutarto, 2006: 1). Adat istiadat di kawasan tapal kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura dan Agama Islam. Hal tersebut berpengaruh terhadap kesenian yang berkembang di kawasan ini, yakni produk-produk kesenian yang umumnya bernuansa agraris dan keagamaan (Islam). Potensi kesenian yang berkembang di Kabupaten Lumajang sangat beragam, akan tetapi tidak sedikit pula yang mengalami kepunahan.
Salah satu kesenian tradisional di Lumajang yang masih bertahan hingga saat ini adalah Glipang Rodhat. Glipang Rodhat merupakan jenis pertunjukan yang menampilkan gerak tari unik yang diiringi musik khas bernuansa Islami (Hariyati, 2016: 3). Glipang Rodhat tumbuh dan berkembang bukan hanya di Kabupaten Lumajang saja, namun juga berkembang di Kabupaten Probolinggo. Hal tersebut tidak mengherankan, karena keduanya berada di wilayah yang sama, yakni Pandhalungan (Hariyati, 2016: 3).
Pada saat ini, beberapa desa di Lumajang masih mempertahankan kesenian Glipang Rodhat, salah satunya yakni Desa Nguter. Secara historis Glipang Rodhat merupakan seni pertunjukan yang terbentuk dari gabungan dua kesenian yang berbeda, yakni kesenian Glipang dan Tari Rodhat (Hariyati, 2016: 13). Kesenian Glipang lahir di lingkungan pesantren, sehingga tidak heran kesenian ini erat kaitannya dengan Agama Islam. Sejarah terbentuknya pun juga beragam versi. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kesenian Glipang berkembang tidak hanya dalam satu wilayah atau kabupaten saja, seperti halnya di Kabupaten Lumajang, akan tetapi terdapat pula di kabupaten lain, salah satunya ada di Kabupaten Probolinggo (Hariyati, 2016: 3). Keberagaman versi kesenian Glipang secara substansi pada dasarnya tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya, yakni berlatarbelakang perlawanan kaum pribumi terhadap kolonial Belanda.
Dilain sisi, Tari Rodhat disisi merupakan kesenian yang berasal dari sebuah seni bela diri dengan diiringi musik hadrah yang berasal dari Turki. Seiring berjalannya waktu, seseorang bernama Sardi berkeinginan untuk menggagas sebuah kesenian baru dengan menggabungkan Tari Rodhat dengan kesenian sejenis yang telah ada sebelumnya, yakni kesenian Glipang. Hasil dari penggabungan tersebut dinamakan kesenian Glipang Rodhat (Hariyati,2016: 3).
Memaknai Simbol dalam Glipang Rodhat
Tulisan ini akan membahas mengenai simbol-simbol Islami yang tersaji dalam kesenian Glipang Rodhat di Desa Nguter, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang Jawa Timur.
1. Musik
Musik dalam kesenian Glipang Rodhat berperan sebagai pengiring tari. Adanya perpaduan antara nuansa lokal Jawa dengan nuansa Islami dalam musik iringan tari Glipang Rodhat menjadikannya unik dan menarik, hingga akhirnya menjadi salah satu ciri khas tersendiri dari Glipang Rodhat.
a. Instrumen
1) Terbang
Terbang atau disebut pula rebana merupakan alat musik yang identik sebagai iringan dalam kesenian bernafaskan Islam, seperti kesenian hadrah, barzanji, kuntulan, dan sebagainya (Wuryansari dan Purwaningsih, 2017: 78). Terbang dalam kesenian Glipang Rodhat berjumlah 5 buah. Pembagian pola permainan terbang terbagi menjadi 3, yaitu terbang 1 memainkan pola siji (satu), terbang 2 dan 3 memainkan pola loro (dua), dan terbang 4 dan 5 memainkan pola telu (tiga) yang mana ketiganya secara permainan disebut dengan istilah isen-isenan atau saling mengisi.
Secara simbolik, penggunaan terbang yang berjumlah 5 buah merupakan simbol dari rukun Islam yang terdiri dari syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Selain sebagai simbol rukun Islam juga sebagai simbol salat 5 waktu yang terdiri dari salat Subuh, salat Zuhur, salat Asar, salat Magrib, dan salat Isya. Terkait dengan jumlah 5 dalam penggunaan instrumen terbang dimaksudkan sebagai pengingat yang ditujukan kepada umat Islam agar senantiasa selalu ingat kewajibannya sebagai umat Islam. Sedangkan pola permainan yang saling mengisi atau isen-isenan merupakan simbol atau perlambangan dari kehidupan manusia yang saling melengkapi satu sama lain atau guyub rukun.
2) Ketipung lanang dan ketipung wedok
Musik iringan tari dalam kesenian Glipang Rodhat menggunakan instrumen khas yang disebut ketipung lanang dan ketipung wedok. Sepasang instrumen ini dalam penyajiannya sebagai iringan tari memiliki peranan masing- masing. Ketipung lanang berperan sebagai pengatur irama, sedangkan ketipung wedok sebagai pengisi bagian-bagian kosong dari permainan ketipung lanang. Selain itu, sepasang instrumen ini juga sebagai penanda dimulainya sebuah pertunjukan kesenian Glipang Rodhat.
Sepasang ketipung lanang dan wedok merupakan simbol atau perlambangan sepasang laki-laki dan perempuan seperti ketentuan Allah SWT, bahwa sejatinya manusia hidup berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. Terkait pola permainannya merupakan perlambangan bahwa dalam kehidupan laki-laki adalah pemimpin yang mengatur segalanya, sedangkan perempuan sebagai yang melengkapinya.
3) Jidor
Jidor merupakan instrumen yang memiliki bentuk layaknya bedug dengan diameter lingkarannya yaitu 60 cm dan dengan panjang 60 cm. Jidor dalam kesenian Glipang Rodhat hanya 1 buah instrumen. Karakter bunyinya yang cenderung keras dan berat menjadikan instrumen ini berperan untuk mempertegas irama. Jidor yang hanya 1 buah tersebut merupakan perlambangan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Perannya untuk mempertegas irama juga sama kaitannya dengan keagungan Allah SWT dalam agama Islam. Selain itu, jidor dengan bentuk instrumen yang paling besar di antara instrumen lainnya merupakan simbol, bahwa hidup dan kehidupan manusia dari dan kesanalah tumpuan hidup manusia.
b. Vokal
Selain instrumen musik, dalam kesenian Glipang Rodhat dalam penyajiannya juga menggunakan vokal yakni berupa lantunan tembang Awayaro. Tembang tersebut liriknya menggunakan campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa pada lirik tembang Awayaro terdapat perbedaan antara daerah satu dengan lainnya. Jika berada di daerah Madura, maka bahasa yang digunakan yakni bahasa Madura. Sedangkan pementasan di daerah Jawa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Adapun tangga nada untuk vokal yang digunakan adalah pentatonis laras slendro terdiri dari nada 1-2-3-5-6 (do-re-mi-sol-la), diiringi instrumen-instrumen perkusi yang telah disebutkan sebelumnya. Tembang yang berfungsi sebagai pengiring tari ini mempunyai lirik yang tidak dapat diartikan kata- perkata dan hanya bisa dipahami dengan mengkaitkan secara keseluruhan baris liriknya. Lirik tembang Awayaro sejatinya dalam perkembangannya mengalami perubahan terutama dalam pelafalan liriknya yang menjadikan kata asli atau yang sebenarnya semakin sulit untuk diketahui. Supriyatin (Wawancara: 2022) mengatakan bahwa Awayaro diketahui pada mulanya berasal ucapan “Allahu Ya Rabb”, namun dikarenakan pengaruh Jawa dan Madura akhirnya berubah menjadi 7 Awayaro. Begitupun dengan lirik lainnya, lambat laun dalam perkembangannya juga mengalami perubahan pelafalannya.
Vokal dalam kesenian Glipang Rodhat secara simbolik merupakan wujud dari sebuah doa dan pujian atas keagungan Allah SWT, serta nasihat agar umat selalu taat beragama. Walaupun tidak dipungkiri adanya parikan yang dinyanyikan, akan tetapi hal itu hanyalah sebuah variasi dari tembang yang utama, yakni tembang Awayaro. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa lirik Awayaro merupakan lafal dari kata “Allahu Ya Rabb”. Kata “Allahu Ya Rabb” dapat diartikan sebagai Allah Ya Tuhanku, yang merujuk pada Tuhan dalam kepercayaan Agama Islam. Kalimat tersebut oleh masyarakat, khususnya yang bergama Islam biasa digunakan sebagai laku zikir dan doa.
2. Tari
Tari dalam kesenian Glipang Rodhat berfungsi sebagai pemeran utama. Dipandang dari aspek gerakannya, tarian dalam kesenian Glipang Rodhat mengandung unsur-unsur gerakan silat dan keprajuritan yang disajikan dalam beberapa gerakan, antara lain: (1) hormat pembuka yakni gerakan sikap hormat layaknya seorang prajurit perang (polisi/tentara) yang ditujukan kepada yang punya hajat serta para penonton yang menyaksikan (2) persembahan yakni gerakan menunduk dengan posisi badan ke arah serong kanan dan kiri (3) seblakan yakni berupa gerakan yang diambil dari gerakan ilmu kanuragan (4) silat yakni mengambil dari gerakan-gerakan silat yang dalam penyajiannya diulang beberapa kali (5) keprajuritan yakni berupa gerakan baris-berbaris yang disajikan dengan tidak selayaknya atau tidak seperti baris yang benar pada umumnya (6) nggegem yakni berupa gerakan mengepalkan tangan lalu diangkat dan dilanjutkan menutupi telinga dengan telapak tangan yang terbuka.
Tarian Glipang Rodhat secara substansial merupakan bentuk representasi tentang “sesuatu” hal. Gerakan-gerakan simbolik diantaranya: (1) seblakan sebagai penggambaran masyarakat yang sehari-seharinya senantiasa berlatih ilmu kanuragan (2) silat sebagai penggambaran kegigihan masyarakat yang selalu bersiap diri untuk melawan para penjajah (3) nggegem sebagai simbol semangat juang, merdeka, serta sebuah pesan kepada penonton agar menghilangkan sifat-sifat penjajah (4) keprajuritan berupa gerakan baris-berbaris yang disajikan dengan tidak seperti selayaknya baris yang benar, merupakan bentuk sindiran serta pelecehan atau olok- olok terhadap para penjajah.
Dibalik kata Sederhana
Kesenian Glipang Rodhat merupakan bentuk kesenian tradisional yang sangat sederhana dan mencerminkan kehidupan masyarakat yang sederhana pula. Namun jika dilihat dari berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, memiliki nilai-nilai keislaman, hal itu tampak dari simbol-simbol instrumen yang dipakai maupun tembang serta parikan yang sarat dengan nasihat yang berguna dalam kehidupan masyarakat.
Kesenian Glipang Rodhat seperti juga kesenian tradisional lainnya memang sebagian besar merupakan bentuk seni pertunjukan yang sederhana. Namun di balik kesenian yang tampak sederhana tersebut, terkandung nilai-nilai spiritual serta sarat makna. Untuk itu disarankan kepada generasi muda maupun pihak-pihak terkait seyogyanya dalam melihat, mengamati, atau meneliti kesenian tradisional jangan hanya melihat berbagai aspek yang tersurat saja, tetapi jauh lebih penting adalah makna yang tersirat di balik fenomena kesenian tersebut. Hingga kemudian, berusaha untuk peduli, melindungi, dan melestarikannya.
Penulis: Denny Bhagus Syahroni
Email: realbhagus@gmail.com
Pustaka
Hariyati, M. 2016. “Tari Glipang Rodhat Di Desa Jarit Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang”. APRON Jurnal Pemikiran Seni Pertunjukan, Vol. 1, No.9.
Sutarto, Ayu “Sekilas Tentang Masyarakat Pandhalungan”, makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 7 – 10 Agustus 2006, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/sekilas-tentang-masyarakat-pandhalungan/
Wuryansari, E. Th. dan Ernawati Purwaningsih. 2017. Kesenian Glipang Lumajang (Bentuk Pertunjukan Dan Eksistensi Grup Bintang Budaya). Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
Amin Supriyatin, 41 tahun, seniman tari, guru seni budaya SMPN 1 Kunir, jalan Suwandak,gang Ngadinem, Desa Ditotrunan, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang.